Reranting yang mengering
Sebab belukar telah dibakar
Pun batu-batu membisu
Satria melangkah hampiri petaka
Bernyanyi di pijar matahari
Disayat sembilu mengusik debu
Menjaring asa yang sayup di cakrawala
Lakon-lakon melebur bukan tuk hancur
Karena suara tak bisa dipenjara
Ingini penguasa beri cinta
Untukmu negeri kami di sini
Menjadi biru dalam episode kelabu
Serang, 2010
Wajah Kota
Sejuta keresahan nyata dalam ingatan
Dalam peradaban zaman di kelamnya waktu
Tak kan pernah hilang, tak kan pernah berakhir
Selalu ada dan tenggelam di hati
Merahnya cakrawala membakar wajah yang marah
Setiap langkah adalah waktu yang berharga
Tuk mencari kesejatian di antara kerasnya kenyataan
Di bawah celah pencakar langit ini
Wajah legam coba tuk mengeram
Namun suaranya hilang ditelan kesibukan kota
Di sini tiada guna berkeluh kesah
Karena yang ada adalah perjuangan
Tak kan mampu mereka berada dalam stagnasi
Walau hidup terasa dalam disharmoni
Yang mereka bisa hanyalah berlari
Mencari dan menanti hingga ujung hari
Serang, 2010
Tentang Waktu
Detik berlalu merubah menit menjadi jam
Hari berganti dari pekan ke bulan menjadi tahun
Bukan soal tentang apa dan siapa
Tetapi tentang waktu yang telah dilewati
Karena tadi adalah masa lalu
Karena nanti adalah harapan
Dan kini adalah kenyataan
Bukan soal tentang bagaimana dan mengapa
Tetapi tentang waktu yang akan dilalui
Karena tadi adalah cerminan
Karena nanti adalah penerawangan
Dan kini adalah kehidupan
Bukan soal tentang melupakan dan dilupakan
Tetapi tentang waktu yang sedang dijalani
Karena tadi adalah kenangan
Karena nanti adalah impian
Dan kini melata mengikuti keadaan
Serang, 2010
Gusur
Matahati yang gelap terbentur keadaan
Sanubari yang berkarat tertutupi kuasa
Matahari jadi saksi rezimnya ambisi
Yang lemah teraniaya, yang kuat kian berjaya
Ada tawa di tengah lebarnya luka menganga
Jengkal demi jengkal tanah ini hilang dirampas
Menggusur perasaan rakyat jelata
Aparat wajahnya legam ditelan kelam
Huru-hara terjadi dalam negeri antah-berantah
Satu menang seribu dikalahkan
Licik, picik, mencekik, dan menggelitik
Bersembunyi di balik dinding tirani
Sang durjana kini merasa bahagia
Di tengah puing bangunan yang tersisa
Sementara peluh air mata semakin nyata
Terbuang sudah karena tanah sengketa
Cilegon, 14 Oktober 2009
Dehidrasi Moral
Kau yang dahaga akan segala
Meminum air dari tujuh samudera
Mimpi berenang di lautan emas permata
Hapuskan pelita yang singgah di jiwa
Hingga mata air kau rubah menjadi airmata
Kau lupa dengan yang ada
Gantikan alam nyata dengan dunia fana
Tuangkan ilusi di rongga dada
Mereguk palsunya spektrum rona
Hingga menjadi serigala bagi sesama manusia
Kau terlelap dengan semua
Menghisap saripati majnun bunga
Berkelana sunyi di cakrawala
Telanjangi hati pada beranda
Hingga kau lupa akan dalamnya liang pusara
Serang, 2010
Striptis
Ajari kami bahasa tubuhmu
Saat kau meliuk-liuk bersama malam
Menjelma ular dalam remang cahaya
Tajam mata mereka mengiris kepolosanmu
Mengeja jengkal demi jengkal lekuk tubuhmu
Tuangkan sake dalam gelas kosong
Membuat langkah menjadi nanar
Ambisi tanggalkan helai kenyataan
Telanjangi detik-detik berlalu
Resahkan kalong yang singgah di ranting lapuk
Pada ujung langit tenggelam bintang
Jangkrik jantan dendangkan hymne kesepian
Malam kini telah hampir pagi
Ceritamu dibekap sunyi
Malam kini telah hampir pagi
Keluh kesah membekas di hati
Rembulan yang lebur di tenggara
Berpulang bersama dewi-dewi ke kahyangan
Menghentakkan denyut di jantung insomnia
Ketika kau lelah mainkan episode kelabu
Dalam siluet ruang distorsi
Tersesat pada jalan kelok berlubang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar