Senin, 31 Mei 2010

RI Diminta Waspadai Legalisasi Nama "Selat Singapura"

Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Paskalis Kossay, di Jakarta, Senin, mengingatkan Pemerintah RI agar jangan ikut-ikutkan melegalisasikan nama "Selat Singapura" melalui ratifikasi tapal batas laut kedua negara.

Ia mengemukakan hal itu, sehubungan dengan kesepakatan pihak DPR RI dan Pemerintah pekan lalu untuk meratifikasi perjanjian antara Indonesia - Singapura tentang penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di bagian Barat "Selat Sumatera" atau yang oleh Singapura disebut "Selat Singapura".

"Kita kan selama ini lebih akrab menyebut perairan itu dengan istilah Selat Sumatera. Kalau mereka (Singapura) mau bersikeras menggunakan nama Selat Singapura, harus dibicarakan secara mendalam terlebih dulu. Atau, solusinya disebut Selat Sumatera Singapura," tandasnya.

Pendapatnya ini didukung Al Muzzammil Yusuf (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) yang meminta agar penyebutan nama Selat Singapura diubah menjadi Selat Sumatera.

Sebab secara psikologis, menurutnya, penyebutan nama tersebut menunjukkan sebagai kekalahan diplomasi.

"Kita sendiri punya nama sebagai Selat Sumatera, dengan dinyatakannya di bagian barat Selat Singapura, itu akan lebih menguntungkan Singapura," tegasnya.

Hal tersebut disetujui juga oleh Lily Wahid (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa).

"Setahu kami, itu namanya Selat Sumatera, tetapi kenapa berubah menjadi Selat Singapura," tanya saudara Alm KH Abdurrahman Wahid ini.

Belum Semua Disepakati

Paskalis Kossay juga menyebut, belum semua wilayah tapal batas disepakati untuk disetujui, terutama di wilayah Timur, juga beberapa pulau Singapura yang telah mengalami perubahan luas, setelah mereka melakukan reklamasi dengan mengambil tanah atau pasir dari Indonesia.

Menlu Marty Natalegawa sendiri pada Raker di Komisi I DPR RI sebelumnya mengakui, persoalan batas laut antara Indonesia dan Singapura masih belum sepenuhnya dapat dituntaskan, terutama terkait perbatasan segmen timur.

Sebab, menurutnya, selama ini, pembahasan segmen wilayah timur belum pernah dilakukan sebab masih terkendala persoalan sengketa antara Singapura dan Malaysia.

Pihaknya akan mulai pembahasan dalam waktu dekat meski sudah dilakukan beberapa pertemuan informasl.

Menanggapi pernyataan sejumlah anggota, Marty Natalegawa mengatakan, ratifikasi perjanjian tersebut memiliki nilai strategis.

Ia menambahkan, nanti setelah ratifikasi akan tercipta kepastian hukum untuk ketegasan batas wilayah dua negara.

"Sekaligus menjamin aparat keamanan dan penegak hukum untuk melakukan proses penegakan hukum. Ini bagian dari amanat konstitusi," katanya.

Melalui ratifikasi, sambung Marty Natalegawa, akan mempermudah posisi Indonesia sebagai negara pantai untuk pengamanan jalur navigasi di Selat Malaka dan Selat Sumatera atau Selat Singapura.

Kesepakatan untuk segera meratifikasi perjanjian tapal batas wilayah laut kedua negara itu tercapai saat Rapat Kerja (Raker) Komisi I DPR RI dengan Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, dan Menteri Hukum dan HAM.

Raker tersebut dipimpin langsung Kemal Azis Stamboel (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), didampingi tiga wakil ketuanya, yakni TB Hasanudin (Fraksi PDI Perjuangan), Agus Gumiwang Kartasasmita (Fraksi Partai Golkar), dan Hayono Isman (Fraksi Partai Demokrat).

Pembahasan ratifikasi dalam rapat tersebut, merupakan kelanjutan atas penandatanganan perjanjian batas wilayah laut di antara kedua negara untuk bagian barat Indonesia - Singapura pada 10 Maret 2009.

Perjanjian tersebut menurut rencana akan segera diundangkan dalam Rapat Paripurna DPR RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar