Rabu kemarin, saya diundang untuk berbicara di depan para penulis Kompas di Grha Kompas Gramedia Bandung, mengenai penyusunan dan penerbitan naskah buku. Jadwal acaranya sendiri? Kamis besoknya.
"Waduh," adalah pikiran pertama saya yang muncul. Saya harus berbicara berkaitan penulisan di depan para penulis profesional. Dan hanya punya waktu sehari untuk mempersiapkannya. Satu tantangan lagi: saya juga sedang dalam proses pemulihan diri akibat reaksi alergi. Mata saya bengkak sebelah. Dan kulit muka saya begitu kering, sehingga pinggiran bibir, hidung, dan mata sedikit terbelah. Kalau senyum saja sakit. Bagaimana kalau berbicara?
"Maaf mendadak, Mas," ujar Mas Rinto, Manajer Pemasaran Gramedia Pustaka Utama (GPU) Bandung. "Bisa nggak, dengan jadwal begitu?" tanyanya lagi via telepon.
"Bisa, Mas!" sambut saya sigap, sebelum keraguan kembali muncul. Dan dengan begitu, saya sudah menyudutkan diri sendiri. Saya pun meneguhkan diri untuk melakukan persiapan hidup-mati.
Dari korespondensi SMS, saya menanyakan berbagai informasi berkaitan calon hadirin dan kesediaan alat. Ternyata saya akan membawakan materi tersebut bersama Anjar (novelis). Sementara Kang Dedi Muhtadi (Kepala Biro Kompas Jawa Barat) berbagi mengenai penerbitan artikel di Kompas.
Saya kembali ragu. Berbicara mengenai kepenulisan di hadapan para penulis profesional? Apa bukan seperti--meminjam istilah Kang Dedi--mengajari bebek berenang? Gugup kembali menyerang. Bibir dan kelopak mata saya mendadak terasa perih.
Namun, saya teringat bagaimana Diane DiResta menulis di bukunya, "Knockout Presentations", bahwa ia pernah mengalami keraguan serupa. Saat itu, ia harus berbicara mengenai teknik presentasi di hadapan para pembicara profesional, yang tergabung dalam National Speaker Association. Saking gugupnya, ia sering memeriksa kembali busananya, takut salah mengancingkan.
Namun kegugupannya mendadak hilang saat ia menyadari satu hal: ia terjebak dalam pola pikir yang salah. Ia terlalu sibuk memikirkan bagaimana membuat hadirinnya terkagum-kagum. Teknik apa yang harus ia lakukan. Kata-kata apa yang harus diucapkan.
Justru karena itulah ia melupakan bahwa ia hadir untuk berbagi sesuatu: karakter dan pengalaman pribadinya yang unik. Semua orang yang hadir adalah pembicara sukses dan berpengalaman. Namun masing-masing memiliki karakteristik unik. Dan sebagaimana dirinya, mereka adalah orang-orang yang selalu berkeinginan belajar. Mereka ingin mendapatkan sesuatu dari sesi ini. Dan itu hanya bisa mereka dapatkan kalau Diane bertujuan untuk berbagi. Bukan untuk membuat kagum.
Kisah itu juga yang menyadarkan saya. Presentasi bukanlah tentang "saya". Tapi tentang "Anda". Terlalu banyak memikirkan "saya" akan membuat diri terjebak oleh rasa gugup. Tapi sebaliknya, begitu kita memikirkan bagaimana membuat "Anda" (atau hadirin) mengerti, yang muncul justru semangat.
Saya berhenti mengkhawatirkan kendala fisik saya. Dan memilih fokus ke apa kira-kira yang ingin diketahui para hadirin. Saya memutuskan untuk menunjukkan beberapa hal kepenulisan dengan cara yang segar. Daripada berlama-lama membahas teknik penulisan, saya menyajikan berbagai contoh penulis yang menerbitkan buku dari latar belakang seperti para hadirin. Berlanjut ke pengalaman dan interaksi dengan penerbit. Hingga kunci-kunci rahasia seperti uji premis naskah, surat pengantar yang menarik, atau kiat memilih rekan penerbit yang cocok. Berhubung acaranya menjelang buka puasa, saya pun memvariasikan tayangan bantu: kutipan, gambar, humor, dan klip video.
Alhamdulillah, sesi itu berjalan lancar. Sakitnya tidak terasa. Tayangan slide diiringi tawa dan sambutan hangat. Saat saya menayangkan slide yang memuat kutipan Burton Rascoe, "Istri seorang penulis tidak akan pernah mengerti bahwa ketika [sang suami] sedang bengong, ia sebenarnya sedang bekerja," dua orang laki-laki peserta langsung memfotonya dengan bersemangat. Jangan-jangan mau ditunjukkan ke istri di rumah.
Sesi tanya jawab pun sangat marak. Terutama karena pembicara lain juga berbagi macam-macam tips. Dan untunglah saya sudah menyiapkan dokumen teks penuh untuk dibagikan setelah acara. Karena para hadirin sampai mengantre untuk menyalin.
Pak Sobirin, seorang penulis artikel berkaitan lingkungan hidup, pun berkomentar, "Tadi presentasinya pake Flash, Mas?"
"Bukan, kok," geleng saya. "Itu PowerPoint."
"Kok bisa bersih, ya?" tanyanya lagi, heran.
Saya balik bertanya karena tidak mengerti apa yang dimaksud dengan bersih. Ternyata yang dimaksud Beliau adalah bebas dari bullet point. Minim teks. Animasi transisi antar objek halus. Dan penggunaan gambar maupun warna yang serasi. Intinya: hampir tidak terlihat bahwa yang saya gunakan sebenarnya adalah gabungan slide dan video yang ditayangkan secara berurutan.
"Alhamdulillah," ujar saya. "Memang itu tujuan saya." Karena berkat teringat kisah Diane, saya jadi kembali meluruskan niat. Presentasi adalah komunikasi ide. Dan penyampaian yang mengalir lancar akan mempermudah hadirin untuk menangkap pesan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar