SALAM SRIWIJAYA GONG pasar bebas akan segera ditabuh tahun 2010 yang tinggal beberapa hari dijelang. Barang-barang dari luar akan bebas masuk bersaing dengan barang-barang lokal.
Sebenarnya gaung tentang pasar bebas ini mengemuka sudah sejak lima bahkan 10 tahun lalu. Berbagai diskusi dan seminar dilakukan untuk menghadapi segala kemungkinan dalam menghadapi gempuran produk luar. Waktu terus berlalu, 10 tahun ternyata cepat berlalu. Pasar bebas kini di depan mata. Pertanyaannya apakah kita sudah siap? Sejumlah kalangan ternyata tidak yakin dengan kesiapan bangsa ini menghadapi pasar bebas. Komisi VI DPR RI misalnya mengajukan usul tertulis yang ditujukan ke Presiden RI agar mensetting ulang peraturan tentang pemberlakuan pasar bebas 1 Januari 2010 mendatang. Usulan tersebut agar presiden tetap memberlakukan pajak barang namun nilainya diturunkan dari sebelumnya. Langkah ini mengantisipasi robohnya jutaan sektor industri di Indonesia dan 330 sektor industri di Sumsel.
Anggota Komisi VI DPRRI Dodi Reza Alex melihat produk Cina sebagai ancaman terbesar terhadap produk dalam negeri. Kena pajak saja, produk Cina bisa murah, apa lagi tidak kena pajak. Jika para pelaku usaha tidak pandai mengimbanginya maka sudah tentu ancaman kebangkrutan yang ditakutkan.
Pendapat berbeda dikatakan Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Sumsel, H Abdul Shobur. Dia mengatakan justru sektor industri di Sumsel siap menghadapi pasar bebas. Pasar bebas, dapat memacu tumbuh dan berkembang UKM menghadapi persaingan.
Pasar bebas memang seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, pasar bebas akan memanjakan masyarakat Indonesia yang mayoritas berada pada ekonomi menengah ke bawah untuk menikmati produk yang murah. Contohnya produk-produk asal Cina, sebelum pasar bebas, sudah menawarkan harga yang murah dibanding produk lokal. Mulai dari peniti hingga ponsel, produk Cina ada.
Tetapi secara jangka panjang, pasar bebas akan mengancam produk-produk lokal. Kita ingat ketika PON XVI berlangsung di Palembang tahun 2004 lalu. PON itu diharapkan mampu mengangkat perekonomian Sumsel, terutama sektor usaha. Tapi yang muncul ternyata suvenir-suvenir buatan Cina yang dipesan khusus dari Palembang. Cinderamata yang diberikan untuk tamu-tamu elit, ketika itu juga dipesan dari Cina. Alasannya biaya lebih murah dan hasilnya yang lebih menarik.
Hal ini tentu harus menjadi pelajaran bagi Sumsel ke depan. Bila masih berpikir seperti itu, produk-produk lokal akan semakin tenggelam. Saat ini yang dibutuhkan adalah bagaimana cara meningkatkan kualitas produk lokal agar bisa bersaing dengan produk Cina. Sektor ekonomi, inflasi dan sebagainya juga mesti diperbaiki agar dapat menekan biaya produksi sehingga produk lokal bisa dijual dengan harga terjangkau.
Terlebih penting dari semua itu adalah menanamkan semangat cinta produk dalam negeri. Karena sudah menjadi rahasia umum, masyarakat Indonesia silau dengan produk yang berbau luar negeri. Kita harus yakin bahwa produk kita bisa menjadi tuan di negeri sendiri, dengan cara mengangkat dan mencintai hasil karya kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar