Rabu, 25 Mei 2011

Penerapan Aturan Akuntansi Internasional di Indonesia

Bandung, Kompas – Penerapan aturan akuntansi internasional di Indonesia masih perlu disesuaikan dengan kondisi perekonomian dan perusahaan.

Demikian dikatakan Agung Nugroho Soedibyo, anggota Dewan Standar Akuntansi-Ikatan Akuntan Indonesia, seusai menjadi pembicara dalam pembukaan program Pendidikan Profesi Akuntansi di Universitas Widyatama, Bandung, Rabu (13/10).

Hingga saat ini, kata dia, baru 50 persen Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) di Indonesia mengacu kepada Standar Akuntansi Internasional (IAS) yang dikeluarkan Dewan IAS.

Agung menjelaskan, penggunaan standar akuntansi internasional di Indonesia sudah berjalan sejak tahun 1973. Pada saat itu, Indonesia menggunakan aturan-aturan akuntansi yang berasal dari Belanda. Kemudian, tahun 1974 hingga tahun 1984, Indonesia menggunakan aturan Generally Accepted Accounting Principles (GAAP) dari Amerika Serikat.

Tahun selanjutnya, ada perubahan pada aturan-aturan dalam GAAP, tetapi Indonesia tetap menggunakannya. Tahun 1994, Indonesia mulai menggunakan aturan akuntansi dari IAS, hingga saat ini.

Namun, aturan IAS yang diterapkan Indonesia sifatnya baru harmonisasi saja, belum mengadopsi secara penuh dan menyeluruh terhadap aturan-aturan IAS.

Aturan DSAI

Hingga saat ini, ujar Agung, Dewan Standar Akuntansi Indonesia (DSAI) telah menelurkan 58 PSAK.

Aturan standar yang baru saja ditelurkan oleh DSAI, antara lain PSAK 59 tentang akuntansi di perbankan syariah dan PSAK 24 tentang keuntungan bagi pekerja.

Menurut Agung, hingga saat ini di Indonesia belum dimungkinkan untuk melakukan adopsi secara penuh terhadap aturan standar internasional.

Agung memberi contoh tentang PSAK 24 tentang keuntungan bagi pekerja. Ia menjelaskan, aturan yang baru saja ditetapkan tersebut mengadopsi aturan IAS nomor 19.

Hal itu dilaksanakan bersamaan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. “Semua hak-hak pekerja harus ditulis dalam laporan keuangan sebuah perusahaan. Agar semua pihak bisa mengetahuinya,” tuturnya.

Namun, lanjut Agung, DSAI juga tidak akan begitu saja menerapkan aturan IAS di Indonesia. Ketika ditanya mengenai pemeriksaan terhadap para akuntan publik yang tergolong nakal, Agung mengatakan, dirinya tidak bisa mengatakan ada akuntan nakal sebelum terbukti.

Ia menyangkal adanya akuntan yang nakal. Namun, Agung mengakui jika ada laporan dari masyarakat tentang profesi akuntan. Tapi, katanya, tidak ada yang berhubungan dengan kenakalan akuntan. “Bahkan, hingga saat ini tidak ada izin praktik akuntan yang dicabut oleh Departemen Keuangan,” tutur Agung. (J11)

Artikel Kedua (2):

Indonesia Harus Adopsi IAS
Memudahkan Perusahaan Asing Menjual Saham

BANDUNG, (PR).-
Indonesia harus mengadopsi standar akuntansi internasional (International Accounting Standard/IAS) untuk memudahkan perusahaan asing yang akan menjual saham di negara ini atau sebaliknya. Namun demikian, untuk mengadopsi standar internasional itu bukan perkara mudah karena memerlukan pemahaman dan biaya sosialisasi yang mahal.

Demikian dikatakan penasihat Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) Kompartemen Akuntan Publik, Agung Nugroho Soedibyo, usai memberikan ceramah umum di pembukaan program Pendidikan Profesi Akuntansi (PPA) Universitas Widyatama, baru-baru ini.

Lebih lanjut Agung mengatakan, upaya untuk mengadopsi seluruh standar akuntansi internasional itu sudah dilakukan sejak 1994. Saat ini, jelasnya, sudah lebih dari 50% framework standar internasional yang dikeluarkan oleh International Accounting Standard Board.

“Cuma sifatnya kita baru harmonisasi. Ke depan nanti, walaupun saya tidak tahu kapan waktunya, kita harus melakukan full adoption atas standar internasional itu. Sebetulnya, yang paling utama diinginkan adalah untuk perusahaan publik. Agar jika ada perusahaan dari luar negeri ingin menjual saham di Indonesia atau sebaliknya, tidak akan lagi dipersoalkan perbedaan standar akuntansi yang dipergunakan dalam menyusun laporan keuangan,” paparnya.

Untuk mencapai full adoption dari standar akuntansi internasional, hingga saat ini masih terus dilakukan diskusi dan pembicaraan. Menurut Agung, ada beberapa pilihan untuk melakukan adopsi, menggunakan IAS apa adanya, atau memilih bagian-bagian yang sesuai dengan kondisi Indonesia.

“Selama ini, yang kita sebut sebagai harmonisasi adalah, kita yang menentukan mana saja yang harus diadopsi, sesuai dengan kebutuhan. Contohnya adalah PSAK (pernyataan standar akuntansi keuangan) nomor 24, yang baru saja selesai kita kerjakan, itu mengadopsi sepenuhnya IAS nomor 19. Standar ini berhubungan dengan imbalan kerja atau employee benefit. Kita melakukan hal ini, bersamaan dengan adanya UU No 13 tentang tenaga keja, yang mengatur secara rinci mengenai hak karyawan. Hak-hak seperti itu harus secara transparan diwujudkan di dalam laporan keuangan perusahaan,” ujarnya.

Agung melanjutkan, ada juga upaya untuk mengadopsi IAS nomor 41 tentang standar akuntansi perusahaan agrokultur. Tapi, Dewan Standar Akuntansi tidak bisa begitu saja melakukan adopsi. Pihaknya saat ini masih terus melakukan pembicaraan dengan perusahaan agrokultur baik swasta maupun BUMN, untuk meninjau kemungkinan mengadopsi penuh IAS Nomor 41. “Diskusinya bahkan belum sampai kepada diskusi penyusunan, jadi waktunya masih lama,” ujarnya.

Berkaitan dengan sosialisasi standar baru hingga ke wilayah akademis, Agung menjelaskan, sudah ada bagian di IAI yang bertugas melakukan hal tersebut yaitu Kompartemen Akuntan Pendidik.

“Dewan Standar Akuntasi tugasnya hanya menyusun suatu standar secara independen dan tidak bertugas untuk menyosialisasikan. Di IAI ada empat kompartemen yang menjadi tempat bernaungnya akuntan sesuai dengan bidangnya, Kompartemen Akuntan Publik, Akuntan Manajemen, Sektor Publik, dan Akuntan Pendidik,” urainya.

“Tiap-tiap kompartemen inilah yang seharusnya melakukan sosialisasi. Para akuntan pendidik ini pasti dosen-dosen perguruan tinggi. Kalau dia melakukan pekerjaan formalnya, otomtis setiap perguruan tinggi akan mengetahui setiap perkembangan yang ada sedini mungkin,” tambahnya.

Namun demikian, lanjut Agung, sosialisasi pasti akan terbentur dengan masalah biaya, misalnya untuk pencetakan buku standar yang baru. “Tapi sosialisasi ini sangat penting karena nanti produk dari perguruan tinggi itu akan dinilai oleh para pemakainya,” ujarnya. (A-132)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar